Article | Thu, 05 Jun 2025
Di tengah tantangan akses pendidikan formal di berbagai pelosok Indonesia, lahir inisiatif dari masyarakat yang dikenal sebagai Sekolah Rakyat. Inisiatif ini bertujuan menjangkau anak-anak dari keluarga marginal yang sering kali terabaikan oleh sistem pendidikan nasional. Berbeda dari sekolah formal, Sekolah Rakyat mengedepankan nilai gotong royong, relawan, dan fleksibilitas kurikulum. Pendekatannya yang humanis dan kontekstual membuatnya relevan bagi komunitas-komunitas yang mengalami hambatan geografis maupun ekonomi.
Sekolah Rakyat bukan hanya sebuah alternatif, melainkan bentuk perlawanan terhadap ketimpangan akses pendidikan. Banyak anak dari keluarga kurang mampu tidak dapat menikmati bangku sekolah karena biaya, lokasi, atau keterbatasan fasilitas. Di sinilah peran Sekolah Rakyat menjadi signifikan: mereka hadir di tengah masyarakat dengan biaya minim atau bahkan gratis, serta menggunakan tenaga relawan dari berbagai kalangan. Dengan dukungan lokal dan pendekatan berbasis komunitas, sekolah ini menyasar kebutuhan nyata di lapangan.
Meski awalnya hanya gerakan kecil yang muncul di beberapa wilayah seperti Yogyakarta, Jakarta, dan Jawa Barat, kini Sekolah Rakyat mulai dikenal lebih luas. Keberadaannya menunjukkan bahwa pendidikan tidak harus mahal dan kaku, tetapi bisa inklusif dan membumi. Namun, mereka tetap menghadapi tantangan seperti keberlangsungan pendanaan, legitimasi kurikulum, dan pengakuan dari pemerintah. Untuk itu, diperlukan perhatian lebih dari masyarakat dan pemangku kebijakan agar gerakan ini terus berkembang.
Sekolah Rakyat adalah inisiatif pendidikan nonformal yang umumnya digerakkan oleh relawan, aktivis sosial, dan komunitas lokal. Sekolah ini tidak terikat pada kurikulum nasional, namun tetap mengajarkan keterampilan dasar seperti membaca, menulis, berhitung, dan pendidikan karakter. Fokus utamanya adalah menjangkau mereka yang tersisih dari sistem pendidikan konvensional.
Pendidikan berbasis komunitas dan relawan
Biaya gratis atau sangat murah
Kurikulum disesuaikan dengan kebutuhan lokal
Ketimpangan akses pendidikan di Indonesia menjadi pemicu utama munculnya Sekolah Rakyat. Banyak anak di daerah pedalaman, urban miskin, atau wilayah konflik tidak bisa sekolah karena faktor ekonomi atau geografis. Para penggagas Sekolah Rakyat ingin mengisi kekosongan tersebut dengan pendekatan yang lebih inklusif dan partisipatif.
Akses pendidikan formal belum merata
Tingginya angka putus sekolah di beberapa daerah
Kebutuhan pendidikan yang fleksibel dan adaptif
Sekolah Rakyat biasanya tidak memiliki gedung permanen; pembelajaran bisa dilakukan di balai desa, rumah warga, atau ruang terbuka. Para pengajarnya adalah relawan dari kalangan mahasiswa, guru, seniman, dan masyarakat umum. Pendanaannya diperoleh dari donasi, swadaya masyarakat, atau LSM.
Belajar di tempat sederhana atau seadanya
Dikelola secara kolektif oleh komunitas
Mengandalkan jejaring sosial dan gotong royong
Meski nonformal, Sekolah Rakyat telah memberikan dampak signifikan bagi ribuan anak di Indonesia. Mereka tidak hanya mendapatkan pendidikan dasar, tetapi juga penguatan karakter, kepercayaan diri, dan kesadaran sosial. Banyak lulusan sekolah rakyat yang kemudian melanjutkan pendidikan formal atau menjadi penggerak komunitas.
Meningkatkan literasi dasar di kalangan anak marginal
Menumbuhkan nilai solidaritas dan empati
Mendorong partisipasi masyarakat dalam pendidikan
Keberlanjutan menjadi tantangan utama, mengingat Sekolah Rakyat bergantung pada tenaga sukarela dan dana swadaya. Selain itu, belum adanya legitimasi dari negara membuat sertifikasi atau pengakuan hasil belajar sulit diakses. Faktor burnout relawan juga sering menjadi hambatan dalam menjaga kualitas pembelajaran.
Keterbatasan dana operasional dan fasilitas
Masih belum diakui secara formal oleh pemerintah
Tingginya ketergantungan pada relawan
Sekolah Rakyat Indonesia menunjukkan bahwa pendidikan bisa dimulai dari kepedulian sosial dan solidaritas warga. Dalam jangka panjang, kolaborasi antara komunitas, negara, dan sektor swasta sangat penting agar gerakan ini memiliki dampak yang berkelanjutan. Pendidikan tidak bisa hanya didefinisikan dari gedung dan kurikulum nasional—ia hidup di dalam masyarakat yang ingin maju bersama.
Potensi besar sebagai model pendidikan berbasis masyarakat
Perlu sinergi dengan pemerintah dan lembaga donor
Pendidikan inklusif harus menjadi komitmen bersama